Sudah dua tahun, baik pada Lebaran
maupun Sekaten, Mbok Jah tidak “turun gunung” keluar dari desanya di bilangan
Tepus, Gunung Kidul, untuk berkunjung ke rumah bekas majikannya, keluarga
Mulyono, di kota. Meski pun sudah berhenti karena usia tua dan capek menjadi
pembantu rumah, Mbok Jah tetap memelihara hubungan yang baik dengan seluruh
anggota keluarga itu. Dua puluh tahun telah dilewatinya untuk bekerja sebagai
pembantu di rumah keluarga yang sederhana dan sedang-sedang saja kondisi
ekonominya. Gaji yang diterimanya tidak pernah tinggi, cukup saja, tetapi
perlakuan yang baik dan penuh tepa slira dari seluruh keluarga itu telah
memberinya rasa aman, tenang dan tentram.
Buat seorang janda yang sudah selalu
tua itu, apalah yang dikehendaki selain atap untuk berteduh dan makan serta
pakaian yang cukup. Lagi pula anak tunggalnya yang tinggal di Surabaya dan
menurut kabar hidup berkecukupan tidak mau lagi berhubungan dengannya. Tarikan
dan pelukan istri dan anak-anaknya rupanya begitu erat melengket hingga mampu
melupakan ibunya sama sekali. Tidak apa, hiburnya. Di rumah keluarga Mulyono
ini dia merasa mendapat semuanya. Tetapi waktu dia mulai merasa semakin renta,
tidak sekuat sebelumnya, Mbok Jah merasa dirinya menjadi beban keluarga itu.
Dia merasa menjadi buruh tumpangan gratis. Dan harga dirinya memberontak
terhadap keadaan itu. Diputuskannya untuk pulang saja ke desanya.
Dia masih memiliki warisan sebuah
rumah desa yang meskipun sudah tua dan tidak terpelihara akan dapat dijadikannya
tempat tinggal di hari tua. Dan juga tegalan barang sepetak dua petak masih ada
juga. Pasti semua itu dapat diaturnya dengan anak jauhnya di desa. Pasti mereka
semua dengan senang hati akan menolongnya mempersiapkan semuanya itu. Orang
desa semua tulus hatisnya. Tidak seperti kebanyakan orang kota, pikirnya.
Sedikit-sedikit duit, putusnya.
Maka dikemukakannya ini kepada
majikannya. Majikannya beserta seluruh anggota keluarganya, yang hanya terdiri
dari suami istri dan dua orang anak, protes keras dengan keputusan Mbok Jah.
Mbok Jah sudah menjadi bagian yang nyata dan hidup sekali dari rumah tangga
ini, kata ndoro putri. Dan siapa yang akan mendampingin si Kedono dan si Kedini
yang sudah beranjak dewasa, desah ndoro kakung. Wah, sepi lho mbok kalau tidak
ada kamu. Lagi, siapa yang dapat bikin sambel trasi yang begitu sedap dan
mlekok selain kamu, mbok, tukas Kedini dan Kedono.
Pokoknya keluarga majikan tidak mau
ditinggalkan oleh mbok Jah. Tetapi keputusan mbok Jah sudah mantap. Tidak mau
menjadi beban sebagai kuda tua yang tidak berdaya. Hingga jauh malam mereka
tawar-menawar. Akhirnya diputuskan suatu jalan tengah. Mbok Jah akan “turun
gunung” dua kali dalam setahun yaitu pada waktu Sekaten dan waktu Idul Fitri.
Mereka lantas setuju dengan jalan tengah
itu. Mbok Jah menepati janjinya. Waktu Sekaten dan Idul Fitri dia memang
datang. Seluruh keluarga Mulyono senang belaka setiap kali dia datang. Bahkan
Kedono dan Kedini selalu rela ikut menemaninya duduk menglesot di halaman
masjid kraton untuk mendengarkan suara gamelan Sekaten yang hanya berbunyi
tang-tung-tang-tung-grombyang itu. Malah lama kelamaan mereka bisa ikut larut
dan menikmati suasana Sekaten di masjid itu.
“Kok suaranya aneh ya, mbok. Tidak
seperti gamelan kelenangan biasanya.”
“Ya, tidak Gus, Dan Rara. Ini gending
keramatnya Kanjeng Nabi Mohamad.”
“Lha, Kanjeng Nabi apa tidak mengantuk
mendengarkan ini, mbok.”
“Lha, ya tidak. Kalau mau mendengarkan
dengan nikmat pejamkan mata kalian.” Nanti rak kalian akan bisa masuk.”
Mereka menurut. Dan betul saja,
lama-lama suara gamelan Sekaten itu enak juga didengar.
Selain Sekaten dan Idul Fitri itu
peristiwa menyenangkan karena kedatangan mbok Jah, sudah tentu juga oleh-oleh
mbok Jah dari desa. Terutama juadah yang halus, bersih dan gurih, dan kehebatan
mbok Jah menyambal terasi yang tidak kunjung surut. Sambal itu ditaruhnya dalam
satu stoples dan kalau habis, setiap hari dia masih akan juga menyambelnya.
Belum lagi bila dia membantu menyiapkan hidangan lebaran yang lengkap. Orang
tua renta itu masih kuat ikut menyiapkan segala masakan semalam suntuk. Dan
semuanya masih dikerjakannya dengan sempurna. Opor ayam, sambel goreng ati,
lodeh, srundeng, dendeng ragi, ketupat, lontong, abon, bubuk kedela, bubuk
udang, semua lengkap belaka disediakan oleh mbok Jah. Dari mana enerji itu
datang pada tubuh orang tua itu tidak seorang pun dapat menduganya.
Setiap dia pulang ke desanya, mbok Jah
selalu kesulitan untuk melepaskan dirinya dan pelukan Kedono dan Kedini. Anak
kembar laki-perempuan itu, meski sudah mahasiswa selalu saja mendudukkan diri
mereka pada embok tua itu. Ndoro putri dan ndoro kakung selalu tidak lupa
menyisipkan uang sangu beberapa puluh ribu rupiah dan tidak pernah lupa
wanti-wanti pesan untuk selalu kembali setiap Sekaten dan Idul Fitri.
“Inggih, ndoro-ndoro saya dan gus-den
rara yang baik. Saya pasti akan datang.”
Tetapi begitulah. Sudah dua Sekaten
dan dua Lebaran terakhir mbok Jah tidak muncul. Keluarga Mulyono bertanya-tanya
jangan-jangan mbok Jah mulai sakit-sakitan atau jangan-jangan malah….
“Ayo, sehabis Lebaran kedua kita
kunjungi mbok Jah ke desanya,” putus ndoro kakung.
“Apa bapak tahu desanya?”
“Ah, kira-kira ya tahu. Wong di Gunung
Kidul saja, lho. Nanti kita tanya orang.”
Dan waktu untuk bertanya kesana kemari
di daerah Tepus, Gunung Kidul, itu ternyata lama sekali. Pada waktu akhirnya
desa mbok Jah itu ketemu, jam sudah menunjukkan lewat jam dua siang. Perut
Kedono dan Kedini sudah lapar meskipun sudah diganjal dengan roti sobek yang
seharusnya sebagian untuk oleh-oleh mbok Jah.
Desa itu tidak lndah, nyaris buruk,
dan ternyata juga tidak makmur dan subur. Mereka semakin terkejut lagi waktu
menemukan rumah mbok Jah. Kecil, miring dan terbuat dan gedek dan kayu murahan.
Tegalan yang selalu diceriterakan ditanami dengan palawija nyaris gundul tidak
ada apa-apanya.
“Kula nuwun. Mbok Jah, mbok Jaah.”
Waktu akhirnya pintu dibuka mereka
terkejut lagi melihat mbok Jah yang tua itu semakin tua lagi. Jalannya tergopoh
tetapi juga tertatih-tatih menyambut bekas majikannya.
“Walah, walah, ndoro-ndoro saya yang
baik, kok bersusah-susah mau datang ke desa saya yang buruk ini. Mangga,
mangga, ndoro, silakan masuk dan duduk di dalam.”
Di dalam hanya ada satu meja, beberapa
kursi yang sudah reyot dan sebuah amben yang agaknya adalah tempat tidur mbok
Jah. Mereka disilakan duduk. Dan keluarga Mulyono masih ternganga-nganga
melihat kenyataan rumah bekas pembantu mereka itu.
“Ndoro-ndoro, sugeng riyadi, nggih,
minal aidin wal faifin. Semua dosa-dosa saya supaya diampuni, nggih,
ndoro-ndoro, gus-den rara.”
“Iya, iya, mbok. Sama-sama saling
memaafkan.”
“Lho, ini tadi pasti belum makan semua
to? Tunggu, semua duduk yang enak, si mbok masakkan, nggih?”
“Jangan repot-repot, mbok. Kita tidak
lapar, kok. Betul!”
“Aah, pasti lapar. Lagi ini sudah
hampir asar. Saya masakkan nasi tiwul, nasi dicampur tepung gaplek, nggih.”
Tanpa menunggu pendapat ndoro-ndoronya
mbok Jah langsung saja menyibukkan dirinya menyiapkan makanan. Kedono dan
Kedini yang ingin membantu ditolak. Mereka kemudian menyaksikan bagaimana mbok
Jah mereka yang di dapur mereka di kota dengan gesit menyiapkan makanan dengan
kompor elpiji dengan nyala api yang mantap, di dapur desa itu, yang
sesungguhnya juga di ruang dalam termpat mereka duduk, mereka menyaksikan si
mbok dengan sudah payah meniup serabut-serabut kelapa yang agaknya tidak cukup
kering mengeluarkan api. Akhirnya semua makanan itu siap juga dihidangkan di
meja. Yang disebutkan sebagai semua makanan itu nasi tiwul, daun singkong rebus
dan sambal cabe merah dengan garam saja. Air minum disediakan di kendi yang
terbuat dari tanah.
“Silakan ndoro, makan seadanya. Tiwul
Gunung Kidul dan sambelnya mbok Jah tidak pakai terasi karena kehabisan terasi
dan temannya cuma daun singkong yang direbus.”
Mereka pun makan pelan-pelan. Mbok Jah
yang di rumah mereka kadang-kadang masak spagetti atau sup makaroni di rumahnya
hanya mampu masak tiwul dengan daun singkong rebus dan sambal tanpa terasi. Dan
keadaan rumah itu? Ke mana saja uang tabungannya yang lumayan itu pergi?
Bukankah dia dulu berani pulang ke desa karena yakin sanak saudaranya akan
dapat menolong dan menampungnya dalam desa itu? Keluarga itu, seakan dibentuk
oleh pertanyaan batin kolektif, membayangkan berbagai kemungkinan. Dan Mbok Jah
seakan mengerti apa yang sedang dipikir dan dibayangkan oleh ndoro-ndoronya
segera menjelaskan.
“Sanak saudara saya itu miskin semua
kok, ndoro. Jadi uang sangu saya dan kota lama-lama ya habis buat bantu ini dan
itu.”
“Lha, lebaran begini apa mereka tidak
datang to, mbok?”
Mbok Jah tertawa. “Lha, yang dicari di
sini itu apa lho, ndoro. Ketupat sama opor ayam?”
“Anakmu?”
Mbok Jah menggelengkan kepala tertawa
kecut.
“Saya itu punya anak to, ndoro?”
Kedono dan Kedini tidak tahan lagi.
Diletakkan piring mereka dan langsung memegang bahu embok mereka. “Kau ikut
kami ke kota ya? Harus! Sekarang bersama kami!” Mbok Jah tersenyum tapi
menggelengkan kepalanya.
“Si mbok tahu kalau anak-anakku akan
menawarkan ini. Kalian anak-anakku yang baik. Tapi tidak, gus-den rara, rumah
si mbok di hari tua ya di sini mi. Nanti Sekaten dan Lebaran akan datang saya
pasti datang. Betul.”
Mereka pun tahu itu keputusan yang
tidak bisa ditawar lagi. Lalu mereka pamit mau pulang. Tetapi hujan turun
semakin deras dan rapat. Mbok Jah mengingatkan ndoro kakungnya kalau hujan
begitu akan susah mengemudi. Jalan akan tidak kelihatan saking rapatnya air
hujan turun. Di depan hanya akan kelihatan warna putih dan kelabu. Mereka pun
lantas duduk berderet di amben di beranda memandang ke tegalan. Benar tegalan
itu berwarna putih dan kelabu.
Sumber: Harian Republika,
23 Maret 1994.