Recent Posts

Tanggapan Netizen, Saat Ahok Bersalaman dengan Raja Salman

Raja Salman salaman dengan Ahok 
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok ikut menyambut kedatangan Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz Al Saud, di Bandaran Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu (1/3/2017).

Dari foto yang beredar di jejaring media sosial Twitter, Ahok tampak memakai jas dan peci hitam sedikit membungkuk untuk bersalaman dengan Raja Salman yang memakai bisht, jubah tradisional di Saudi dan sejumlah negara Arab.

Dalam foto itu tampak hadir Presiden Republik Indonesia Joko Widodo yang berdiri di samping Ahok.

Sementara tepat di bagian kiri belakang Raja Salman terlihat Menteri Agama RI Lukman Hakim.

Di Twitter, beragam tanggapan bermunculan terkait momen salaman antara Ahok dan Raja Salman itu.

Momen salaman itu digaungkan lewat hashtag #KingSalman2Jari.

Ahok sendiri mengunggah foto itu di akun Twitter-nya, @basuki_bpt.  Di situ dia menulis, "Mendampingi Presiden Joko Widodo menyambut Raja Salman bin AbdulAziz al-Saud. Semoga membawa kebaikan utk hubungan kedua negara."

Politisi PDI-P Aria Bima, @ariabima99, misalnya mengatakan Raja Salman tak akan bersalaman dengan seseorang yang tidak dikenal.

"King Salman,tdk akan salaman kpd seseorang dlm penyambutan resmi jk tdk melalui cek&ricek yg ketat. #KingSalman2Jari," tulis Aria Bima.

Pegiat media sosial Ulin Yusron lewat @ulinyusron, mengatakan, momen salaman itu menunjukkan Raja Salman mengetahui Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta.

"Jika King Salman mau menyalami Ahok artinya sang penjaga kota Suci Makkah dan Madinah tahu Ahok sebagai Gubernur Jakarta #KingSalman2Jari," tulis Ulin Yusron.

Lawatan Raja Salman, yang merupakan kunjungan pertama Raja Saudi ke Indonesia setelah 47 tahun lalu, itu menyertakan 1.500 orang.

Raja Salman akan bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, lalu berkunjung ke Masjid Istiqlal, berpidato di Gedung DPR, menerima Wakil Presiden RI Jusuf Kalla di Hotel Raffles, sebelum akhirnya berlibur ke Bali.

Ada-ada Saja, Kunyah Makanan di Sidang Ahok, Jaksa Ditegur Hakim

Ahok
Ada-ada saja kejadian lucu saat sidang kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Kali ini, Ketua majelis hakim Dwiarso Budi Santiarto sempat menaikkan nada suaranya. Dwiarso menegur seorang anggota Jaksa Penuntut Umum (JPU) itu lantaran makan di tengah persidangan.

Hal itu terjadi saat anggota JPU lainnya tengah mengajukan pertanyaan kepada Pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab yang menjadi saksi ahli agama. Usai Rizieq menjawab pertanyaan JPU di sidang Ahok, Dwiarso langsung menegur anggota JPU yang tengah mengunyah makanan.

"Saudara jangan makan di dalam ruang sidang ya," kata Dwiarso sambil menunjuk ke anggota JPU di Auditorium Kementan, Selasa (28/2/2017).

Mendengar teguran hakim, anggota JPU yang ditunjuk oleh Dwiarso terlihat kebingungan dan menoleh ke arah kanan dan kiri.

"Iya saudara. Jangan coba-coba makan ya," kata Dwiarso.

Anggota JPU itu pun terlihat menunduk. Suasana sidang Ahok pun kembali kondusif setelah hakim melanjutkan persidangan ke-12 itu.

Cara Bagaimana Memasang Pelindung Layar Ponsel Sendiri


Salah satu aksesori yang banyak diburu pengguna ponsel adalah pelindung layar. Meski kebanyakan ponsel saat ini sudah mengusung Corning Gorilla Glass, yang diklaim memiliki kekuatan dan ketahanan tertentu sesuai dengan variannya, tidak ada salahnya untuk memasang pelindung layar tambahan sekadar untuk jaga-jaga.

Ada beberapa jenis pelindung layar, dengan harga berbeda-beda tentunya. Di marketplace seperti Bukalapak, Tokopedia, Blibli, dan lain-lain, kamu dapat dengan mudah menemukan pelindung layar yang kamu cari. 

Namun sebagian di antara kamu, mungkin saja bingung bagaimana cara memasang pelindung layar ponsel yang tepat. Atas alasan ini pula, ada yang memilih pergi ke toko offline untuk membeli pelindung layar sekaligus meminta si penjual untuk memasangnya. 

Maka dari itu, nafimedia.com sajikan artikel yang mengulas cara bagaimana memasang pelindung layar ponsel sendiri. Caranya cukup mudah, loh. Yuk, simak baik-baik!

Bahan-bahan yang diperlukan

- Pelindung layar

- Kain mikrofiber

- Cairan pembersih layar (opsional)

- Gunting

- Selotip


Beberapa produk pelindung layar ada juga yang menyertakan kain mikrofiber basah di paket pembeliannya, sehingga kamu tak perlu membeli kain mikrofiber dan cairan pembersih layar secara terpisah. 

Cara Memasang Pelindung Layar Ponsel

Langkah pertama, bersihkan layar ponsel dengan menggunakan kain mikrofiber. Usahakan gerakan arah membersihkannya searah. Misalnya, dari kiri ke kanan, atau dari atas ke bawah. Begitu seterusnya. 


Selanjutnya, lihat baik-baik layar ponsel kamu dengan teliti. Cari apakah masih ada kotoran, debu, atau partikel lainnya yang tersisa.


Di tahap ini, kamu bisa menggunakan selotip yang dilingkarkan di telunjuk kamu. Pastikan selotip yang kamu gunakan adalah selotip bening karena kalau menggunakan selotip kuning, 'komponen' warna kuning di selotip itu malah akan tertinggal di layar ponsel.

Bersihkan kotoran, debu, atau partikel lainnya yang kamu temukan dengan cara menempelkan telunjuk kamu. 


Setelah yakin layar ponsel kamu benar-benar bersih, tak ada kotoran, debu, atau partikel lainnya sedikit pun, waktunya kamu memasang pelindung layar. 

Di tahap ini kamu harus cermat dan presisi menentukan posisi lapisan pelindung ketika hendak dipasang. Jangan sampai miring, terlalu atas, terlalu bawah, dan semacamnya. Jangan mencopot semua lapisan pembuka. Mulailah dari pojok atas, kemudian tempel secara perlahan dari pojok tersebut. Lalu, 'urut' ke bagian lainnya secara rata.

Kalau pelindung belum terpasang secara rata, karena ada udara misalnya, angkat kembali lapisan pelindung, kemudian bersihkan bagian tersebut. Selanjutnya tempel kembali secara perlahan dan merata.


sumber : tekno.liputan6.com





Astaga ! Militan Abu Sayyaf di Filipina sudah memenggal sandera Jerman

Jurgen Kantner dan pasangannya, Sabine Merz, pernah disandera bajak laut Somalia pada tahun 2008 lalu.
Pemerintah Filipina mengukuhkan bahwa kelompok militan Islam sudah membunuh seorang warga Jerman yang mereka sandera selama ini.

Sebelumnya, kelompok pemberontak militan, Abu Sayyaf, menerbitkan video yang tampaknya memperlihatkan Jurgen Kantner dipenggal.

Mereka dilaporkan menuntut tebusan sebesar US$600.000 atau sekitar Rp8 miliar untuk pembebasan Kantner namun batas waktu pembayaran sudah habis pada Minggu (26/02).

Seorang penasehat Presiden Filipina, Jesus Dureza, mengatakan pihak berwenang sudah melakukan semua upaya untuk membebaskan Kantner yang disandera di Pulau Jolo namun tidak berhasil.

"Kami berduka dan mengecam keras pemenggalan barbar dari korban yang diculik," tulis Dureza dalam pernyataannya.

Kantner diculik dari kapal pesiarnya di perairan dekat Kepulauan Sulu pada November tahun lalu dan pasangan perempuannya, Sabine Merz, dibunuh saat penculikan.

Sebelumnya keduanya juga pernah diculik oleh bajak laut Somalia pada tahun 2008 dan disandera selama 52 hari namun dibebaskan setelah uang tebusan dibayar.

Video pemenggalan yang diterbitkan memperlihatkan Kantner mengatakan, "Sekarang dia membunuh saya" yang disusul dengan seorang militan bertopeng yang memenggalnya.
Beberapa pria bersenjata kemudian mengucap, "Allahu Akbar."

Militer Filipina melancarkan operasi melawan kelompok pemberontak di kawasan selatan negara itu.
Juru bicara Kementrian Luar Negeri Jerman, Martin Schaefer, mengatakan kepada kantor berita AP bahwa mereka sedang menyelidiki keaslian video tersebut namun menegaskan tayangan video 'amat mengejutkan'.

Kelompok Abu Sayyaf juga bertanggung jawab atas penculikan sejumlah warga Indonesia namun beberapa sudah dibebaskan dan pemerintah Indonesia menegaskan tidak ada pembayaran uang tebusan terkait upaya pembebasan sandera asal Indonesia.

sumber : BBC Indonesia




Terungkap Motif Pelaku Bom Panci di Taman Pandawa yang Tantang Densus

Diduga foto pelaku teror bom di Taman Pandawa dan kantor Kelurahan Arjuna, Kecamatan Cicendo, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (27/2/2017). ISTIMEWA 
Densus 88 Mabes Polri masih mendalami motif Yayat Cahdiyat meledakkan bom panci di Taman Pendawa, Kelurahan Arjuna, Kota Bandung.

Yayat belakangan diketahui pernah tergabung dalam jaringan teroris di Aceh beberapa waktu lalu.
Kapolda Jabar Irjen Anton Charliyan, mengatakan Yayat berbuat nekat guna menuntut Densus 88 membebaskan teroris yang telah ditangkap.

"Kenapa melakukan aksi di sini, kami belum tahu. Yang pasti ingin meneror warga, karena di Taman Pendawa banyak pelajar olahraga," kata Anton di lokasi pada Senin (27/2/2017).

Dikatakan Anton, bom yang meledak di Taman Pendawa merupakan jenis low explosive. Dampak bom tersebut dapat mematikan lantaran terdapat paku beton sepanjang 10 sentimeter.

"Ini bom rakitan," kata Anton seraya menyebut pelaku bom panci baru dipastikan berjumlah satu orang.

Surat Terbuka Buni Yani untuk Meminta Belas Kasihan Presiden Jokowi 'Wakil Tuhan'

source : KOMPAS/WAWAN H. PRABOWO
Tersangka kasus pencemaran nama baik dan penghasutan terkait SARA Buni Yani meminta belas kasihan dengan membuat surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo yang disusun oleh Aldwin Rahadian, kuasa hukumnya.

Melalui surat itu, Buni meminta keadilan pada Jokowi karena merasa diperlakukan tidak adil selama menjalani kasusnya.

"Kenapa harus tinggi-tinggi ke Presiden? Karena ada perlakuan tidak fair dan diskriminatif. Pak Buni merasakan hal itu."

"Mudah-mudahan Presiden sebagai pimpinan tertinggi saya yakin itu diketahui. Mudah-mudahan peka terhadap persoalan rakyatnya," kata Aldwin yang mendampingi Buni ke kantor Komnas HAM, Senin (27/2/2017).

Aldwin mengatakan, Buni sebenarnya bukan siapa-siapa. Namun, mereka merasa surat ini penting untuk disampaikan ke Presiden agar tidak ada orang lain yang mengalami hal serupa seperti yang Buni rasakan.

"Meskipun Pak Buni bukan siapa-siapa, Buni Yani bukan siapa-siapa. Tapi bahwa ini merupakan persoalan yang mungkin besok lusa akan menimpa masyarakat, ini harus tersampaikan kepada Pak Presiden," kata Aldwin.

Berikut isi surat terbuka tersebut :

Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh
Teriring salam dan doa untuk Yang Terhormat Bapak Presiden Jokowi semoga selalu diberi kesehatan, kekuatan, kebersihan hati dan pikiran agar bisa terus memimpin sebuah bangsa besar bernama Indonesia ini.

Perkenankan saya, Aldwin Rahadian, Ketua Tim Advokat yang tergerak secara ikhlas mendampingi seorang pria bernama Buni Yani. Seorang pria sederhana, suami dan ayah dua orang anak yang kedua usianya masih belia.

Seorang yang dituduh sudah menebarkan kebencian atau menghasut orang se-Indonesia untuk membenci Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.

Dan untuk tuduhan tak berdasar itu-karena tidak ada satupun pihak yang melaporkan Basuki Tjahaja Purnama ke Kepolisian dan saksi pelapor di Pengadilan yang menjadikan postingan Facebook Buni Yani sebagai alasan mereka memperkarakan Basuki Tjahaja Purnama-Buni Yani kini sedang 'dilukis' nasibnya oleh Kepolisian.

Berkas kasusnya beberapa kali ditolak Kejaksaan karena tidak lengkap dan hingga detik sudah tiga bulan lebih 'lukisan' itu belum juga jadi. Sebuah kondisi yang sudah tidak normal lagi, sebuah proses yang sudah tidak adil lagi bagi seorang warga negara yang oleh Kepolisian sudah ditetapkan sebagai tersangka dengan begitu meyakinkannya, walau kami meyakini penetapan tersangka Buni Yani sangat dipaksakan.

Keyakinan itu kini semakin menguat karena Kepolisian seperti kehilangan arah menindaklanjuti kasus ini. Sangat banyak kejanggalan yang membayangi kasus Buni Yani yang tidak mungkin kami uraikan satu per satu di surat singkat ini.

Pak Jokowi, kami sepenuhnya memahami, walau Bapak Presiden, Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, dan orang yang menjadi 'Wakil Tuhan' untuk ikatkan sumpah Pimpinan tertinggi Kepolisian di negeri ini, tetapi Bapak tidak bisa mengintervensi penanganan perkara hukum di negeri ini.

Kami juga sadar, Buni Yani bukanlah siapa-siapa, dia hanya warga biasa. Kesalahan terbesar dia adalah berani mengkritik seorang pejabat publik yang omongannya berpotensi menyinggung keyakinan orang lain.

Pak Jokowi, Buni Yani bukanlah siapa-siapa. Bahkan jika dia dihukum seumur hidup pun, pemerintahan yang Bapak pimpin akan terus berjalan, sendi-sendi kehidupan bangsa ini terus berputar, dan bisa jadi Bapak terpilih lagi sebagai Presiden hingga 2024. Namun, mungkin roda kehidupan seorang istri dan dua orang anak akan patah.

Pak Jokowi, Buni Yani bukanlah siapa-siapa. Tidak sebanding dengan beban yang harus Bapak tanggung mendistribusikan kesejahteraan dan keadilan sosial ke seluruh rakyat dan pelosok Indonesia. Tetapi ingatlah, keadilan akan menemui jalannya, dan sampai kapanpun kami akan telusuri jalan itu.

Bagi kami penegakkan hukum tanpa keadilan bukanlah penegakkan hukum, tetapi pengingkaran hukum. Pak Jokowi, surat ini mungkin tak berarti apa-apa bagi Bapak. Tetapi biarlah, ini menjadi catatan sejarah bagi bangsa ini bahwa saat Bapak memimpin bangsa ini, pernah ada seorang pria, seorang suami, seorang ayah berjuang mendapatkan keadilan yang ternyata susah diraih bagi orang-orang biasa.

Biarlah kasus Buni Yani menjadi catatan sejarah yang dibaca anak cucu kita kelak bahwa pada saat Bapak memimpin negeri ini, rakyat biasa tidak berhak mengingatkan penguasa karena bisa berujung mendekam di penjara.
Wassalam.

Mimin si cuma ngakak aja ya gaes... ya itu adalah akibat dari perbuatannya sendiri karena telah melakukan perbuatan fitnah besar kepada seseorang walaupun yang difitnah adalah non muslim.

Ternyata Antasari ke Mabes Laporkan Anggota Polri, Bukan SBY

Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian seusai rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (22/2/2017). source:kompas.com

Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian menegaskan, kedatangan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar beberapa waktu lalu ke Mabes Polri bukan untuk melaporkan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Antasari melaporkan sejumlah anggota Polri.

Hal itu diungkapkan Tito merespons keluhan dari Wakil Ketua Komisi III yang juga Ketua DPP Partai Demokrat Benny K Harman.

Benny mengatakan, Polri tak netral dalam Pilkada DKI Jakarta dan memihak salah satu pasangan calon.

Benny menyebutkan, salah satu contohnya ialah memberikan "karpet merah" bagi Antasari untuk mendiskreditkan SBY yang tujuan akhirnya menghancurkan citra Agus Harimurti Yudhoyono yang turut bersaing dalam Pilkada DKI.

"Yang bersangkutan datang ke Mabes Polri justru melaporkan anggota Polri, termasuk Pak Kapolda Metro," kata Tito dalam rapat kerja Polri dengan Komisi III di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (22/2/2017).

Tito menjelaskan, anggota Polri yang dilaporkan oleh Antasari dianggap melakukan pembiaran dan seolah melakukan rekayasa atau barang bukti kasus.

Ada beberapa item yang dilaporkan. Pertama, Antasari mempertanyakan mengapa pakaian tak dijadikan barang bukti.

"Kedua, peluru. Kenapa dikatakan tiga tembakan, tetapi kenyataannya dua tembakan," kata Tito.

Ketiga, terkait SMS. Antasari mengatakan bahwa SMS yang dijadikan barang bukti tak pernah ada.

"Yang dilaporkan adalah penyidik," ujar Tito.

Ia menambahkan, bahkan, mantan Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri dan para penyidik Polri yang menangani kasus Antasari saat itu akan memberikan pernyataan resmi mengenai kasus tersebut pada Kamis (23/2/2017) besok.

Namun, Tito tak membeberkan di mana pernyataan resmi tersebut akan diberikan.

"Yang pimpin langsung besok Bapak Hendarso sendiri, secara resmi," kata Tito.

Adapun Bambang menjabat Kapolri pada Oktober 2008 hingga Oktober 2010.

Sementara itu, Antasari divonis hukuman penjara karena kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen pada 11 Februari 2010 lalu.

source:kompas.com

Buah dari 'Pertarungan' Kasus Penistaan dan Kinerja Ahok di Kepulauan Seribu

Foto : ahokdjarot.id

Ada yang menarik dengan hasil perolehan suara di pilkada gubernur DKI Jakarta 2017. Pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat ternyata dapat memenangkan suara di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Tempat di mana Ahok pernah berpidato dan ucapannya menjadi viral di media sosial karena dianggap telah menistakan agama. 

Seperti diketahui, kini Ahok menjadi terdakwa kasus dugaan penistaan agama setelah dirinya mengutip surat Al Maidah ayat 51. 

Ucapan “jangan mau dibohongi pakai Surat Almaidah” yang ia lontarkan di depan para nelayan Kepulauan Seribu menjadi viral. Berawal dari kasus itu pula, Ahok kemudian didemo oleh ratusan ribu umat muslim di Jakarta. Mereka mengelar aksi Bela Islam 411, 212, 112 dan lainnya. 

Kasus yang menyandung calon gubernur petahana itu ternyata tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada perolehan suara yang didapatkannya di Kepulauan Seribu. 
Lihat juga:Data KawalPilkada.id: Ahok Menang di Kepulauan Seribu

Melihat hasil hitung entry data Model C1 (Form C1) yang dilakukan oleh KPU dari 39 TPS yang ada di sana, Ahok dan pasangannya justru berhasil menempati tempat pertama dengan memperoleh kemenangan sebanyak 5.532 suara (38,8%). Menyusul ditempat kedua pasangan Anies-Sandiaga yang berhasil mengumpulkan 4.851 suara (34,0%). Sementara untuk pasangan Agus-Sylviana Murni harus puas dengan hanya memperoleh 3,891 suara (27,35%) saja.

Buah 'Pertarungan' Kasus dan Kinerja Ahok di Kepulauan SeribuAhok saat berkampanye di Kepulauan Seribu. Tingkat pasrtisipasi warga di Kepulauan Seribu untuk menggunakan hak pilihnya dalam pilkada kemarin mencapai 81.4 persen. Menurut pendataan KPU, ada sebanyak 14.417 dari 17.709 warga yang menggunakan hak pilihnya. Suara sah yang masuk berjumlah 14.274, sedangkan untuk 143 suara lainnya terhitung tidak sah. 

Pengamat politik dan sosial dari Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito mengatajan, suara yang dimenangkan oleh Ahok-Djarot di Kepulaun Seribu menjadi penanda bahwa masyarakat di sana memiliki rasionalitas politik yang tinggi. 

Menurutnya, pemilih rasional menilai jabatan publik (gubernur) berdasarkan apa yang telah dilakukan, apa yang telah dihasilkan, dan tingkat kepuasan yang diterima oleh masyarakat. 

Pemilih akan mencoba memilah antara kasus dugaan penistaan agama yang disangkakan kepada Ahok dengan kinerjanya selama ini sebagai gubernur. Kinerja itu kemudian yang bisa diyakinkan Ahok pada pemilih.

"Menurut saya keberhasilan dan kemampuan menyakinkan itu menjadi faktor yang menjelaskan mengapa Ahok menang di Kepulauan Seribu," kata Arie, Kamis (16/2).

Arie melihat kemenangan Ahok-Djarot di Kepuluan Seribu ironis. Sebab, kasus yang terjadi di Kepulauan Seribu justru dipermasalahkan oleh sebagian besar orang yang bukan berasal dari sana. Arie menambahkan, hal ini harus menjadi bahan refleksi untuk semua masyarakat di Indonesia. 

Arie memperkirakan jika Ahok tidak tersandung kasus dugaan penistaan agama, ia bisa memperoleh suara yang lebih banyak dari sekarang. Dampak dari masalah itu jelas mempengaruhi perolehan suara pasangan calon nomor dua tersebut. 

Meruncingnya kasus ini, Menurut Arie, menyebabkan sebagian suara Ahok-Djarot mengalir untuk pasangan Anies-Sandi. 

"Kalau saya bisa berhipotesis mungkin kalau Ahok tidak kena kasus itu perolehannya sebenarnya bisa lebih dari sekarang," ucap Arie. 

Pendapat serupa juga disampaikan oleh pakar psikologi politik dari Universitas Indonesia, Hamdi Muluk. Menurut Hamdi jika sejak awal kasus dugaan penistaan agama Ahok tidak "digoreng", tidak menutup kemungkinan Ahok-Djarot akan menang dalam satu putaran. 

Terkait dengan perolehan suara yang berhasil dimenangkan oleh Ahok-Djarot di Kepulauan Seribu, Hamdi menyimpulkan bahwa masyarakat yang hadir dan menyaksikan langsung pidato Ahok secara utuh menganggap bahwa Ahok tidak menistakan agama. 

Sedangkan rata-rata orang yang percaya Ahok menistakan agama, kata Hamdi, hanya menonton potongan video yang tersebar di media sosial. 

"Waktu lurah dan penduduk pulau seribu dijadikan saksi di pengadilan, mereka juga bilang Ahok tidak menistakan agama," kata Hamdi.

Hamdi juga menduga, kinerja pasangan petahana ini yang membuat tingkat kepercayaan masyarakat Kepulauan Seribu tinggi. Salah satunya adalah program budidaya ikan kerapu di sana. Karena itu wajar jika Ahok-Djarot menang di sana. (sur/asa)

sumber : cnnindonesia.com

Sebuah Karya Seni (Anton Chekov)


Sembari mengepit bungkusan ‘Stock Exchange Gasette’ Nomor 223 dengan hati-hati, Sasha Smirnov (seorang anak tunggal) bersungut-sungut memasuki kamar praktek dokter Koshelkov.

“Wah, kawan muda saya!” dokter itu menyambutnya.
“Apa kabar? Baik-baik saja kan?”
Sasha mengerjap-erjapkan matanya, meletakkan tangannya pada dada dan dengan suara bergetar penuh emosi ia berkata, “Ibu titip salam, Dok, dan saya disuruh menyampaikan rasa terima kasihnya… saya anak tunggal ibu dan dokter telah menyelamatkan nyawa saya –mengobati saya dari penyakit yang berbahaya… dan ibu dan saya sebenarnya tidak tahu bagaimana harus berterima kasih kepada dokter.”
“Sudahlah, Nak,” potong dokter itu, tersenyum gembira. “Siapa pun akan berbuat serupa dalam keadaan demikian.”
“Saya, tentu saja tak mampu membayar ongkos pengobatan dokter… dan kami merasa sangat tidak enak memikirkan hal itu, Dok. Tapi biar bagaimanapun, kami –ibu dan saya, yah, satu-satunya yang dimilikinya di dunia ini—sangat bermohon sudilah kiranya dokter menerima ini sebagai sekedar imbalan bagi budi baik dokter… barang ini, yang… ini sungguh patung perunggu yang amat berharga. Betul-betul sebuah karya seni yang indah.”
“Tidak, sungguh,” kata dokter itu mengernyitkan dahi. “Tak mungkin aku bisa menerimanya.”
“Ya, ya, dokter harus menerimanya,” Sasha bersungut-sungut sementara ia membuka bungkusan itu.
“Kalau dokter menolak, kami akan sangat terhina, ibu dan saya… ini sungguh barang yang indah… Sebuah patung perunggu antik… Barang ini kami miliki sejak ayah meninggal dan kami menyimpannya sebagai barang kenangan yang berharga… Ayah memang biasa membeli barang-barang antik dan menyimpannya sebagai barang koleksi seni. Sekarang inu dan saya sudah punya usaha lain….”
Selesai membuka bungkusan itu Sasha dengan bangga menaruhnya di atas meja. Berbentuk tempat lilin yang indah mungil terbuat dari perunggu. Di atasnya terdapat dua patung perempuan dalam keadaan alami dan dalam sikap yang saya tak berani untuk melukiskannya. Kedua pigur itu tersenyum dengan lirikan mata yang merangsang. Pendek kata rupanya dimaksudkan bukan sekedar untuk menghias tempat lilin itu tetapi lebih lagi kedua patung itu bisa-bisa melompat dari tempatnya kemudian menjadikan kamar itu sebagai sebuah pemandangan yang menggoda pikiran untuk mengkhayalkan yang bukan-bukan. Para pembaca yang budiman mungkin saja akan dibuat merah mukanya oleh patung itu.
Setelah lama memperhatikan kehadiran tempat lilin berpatung dua gadis telanjang itu, dokter itu perlahan-lahan menggaruk-garuk bagian belakang telinganya, menelan air liur dan mendengus dengan kacau.
“Ya, memang betul-betul barang yang indah,” ia bergumam, “tapi, yah, bagaimana pula aku harus menyimpannya…? Bagaimana pun orang tak bisa sepenuhnya menganggapnya ini sebagai barang yang menerbitkan selera. Maksudku sesuatu yang telanjang, namun yang ini sih sudah benar-benar terlalu… hmmmm.”
“Apa maksud Dokter, terlalu?”
“Bicara mengenai barangnya sendiri, semua orang tak dapat menyangkal keindahannya. Tapi jika aku disuruh memajang barang semacam itu di atas meja, maka aku akan merasa seperti telah mengotori seluruh rumah.”
“Alangkah anehnya pandangan seni dokter!” ucap Sasha dengan suara terluka.
“Ini kan hasil inspirasi! Perhatikan seluruhnya begitu indah. Bukankah keindahannya memberikan rasa kagum dan nikmat yang tak terperikan kepada dokter? Dokter pasti akan lupa pada segala yang berharga lainnya begitu dokter menikmati keindahan tempat lilin yang begini mengagumkan… Nah, perhatikanlah sejenak, gaya dan ekspresinya!”
“Aku menghargai kebagusannya, kawanku,” kata dokter itu bertahan, “tapi kau lupa aku ini seorang kepala rumah tangga. Jadi pikirkanlah betapa anak-anakku yang masih kecil itu akan menanggapinya, pikirkanlah pula betapa reaksi para perempuan terhormat itu.”
“Benar, jika dokter memandangnya dari kacamata orang banyak,” kata Sasha. “Tentu saja karya seni yang sedemikian tinggi mutunya ini akan tampak tak ada artinya. Tapi dokter harus mengangkat selera seni dokter jauh di atas selera orang kebanyakan. Khususnya ibu dan saya pasti akan merasa sangat terhina apabila dokter menampiknya. Saya satu-satunya anak ibu –dokter telah menyelamatkan hidup saya. Kami menyerahkan kepada dokter milik kami satu-satunya yang paling berharga… dan satu-satunya penyesalan saya ialah bahwa kami tidak mempunyai sesuatu yang sepadan dengan kebajikan dokter….”
“Terima kasih, anakku sayang, aku sungguh amat berterima kasih… Sampaikanlah kepada ibumu salam terima kasihku, tapi coba tolong kau tempatkan dirimu sebagai aku –pikirkanlah anak-anakku yang bersliweran itu, pikirkanlah para perempuan terhormat itu. Oh, baiklah kalau begitu, taruh saja barang itu di sana! Kupikir aku tak akan bisa meyakinkanmu.”
“Tak perlu saya diyakinkan lagi,” sahut Sasha gembira. “Dokter harus meletakkan tempat lilin itu di sini, di dekat jambangan bunga. Tapi alangkah sayangnya barang ini tidak punya pasangannya! Sungguh sayang sekali! Saya permisi pulang saja, Dok, kalau begitu!”
Sesudah Sasha pulang, lama sekali dokter itu mengamati tempat lilin itu, menggaruk-garuk bagian belakang telinganya dan menimbang-nimbangnya.
“Sebuah karya seni yang luar biasa, tiada duanya,” pikirnya. “Dan memalukan untuk membiarkannya begitu saja… Tapi bagaimana mungkin aku memajangnya di sana… Hmmm, betul-betul sulit! Lalu akan kuberikan atau kutitipkan kepada siapa?”
Setelah lama menimbang-nimbang sang dokter itu pun teringat kepada seorang kawan kentalnya Uhov, seorang pengacara. Ia merasa berhutang budi atas pelayanannya yang professional.
“Ya, itulah jawabannya,” dokter itu memutuskan. “Sebagai sahabat adalah kurang hormat baginya menerima uang dariku. Tapi jika aku memberinya hadiah barang, itulah baru comme il fault. Ya, aku akan memberikan kepadanya karya seni yang istimewa ini. Bagaimanapun, ia seorang bujangan, hidupnya easy going.”
Tanpa pikir panjang lagi dokter itu kemudian mengenakan topi dan mantelnya, mengambil tempat lilin itu dan bergegas ke rumah Uhov.
“Bagaimana kabarmu, teman!” serunya, begitu ia sampai di rumah itu. “Aku datang untuk menemui Anda… Terima kasih untuk segala pertolongan yang telah kau berikan kepadaku selama ini…. Aku tahu kau tak suka uang sehingga kau harus setidaknya menerima hal ini di sini…. Lihat, sahabatku karya seni ini…. Hal yang luar biasa! “
Tatkala pengacara itu melihat benda kecil itu ia segera menerimanya dengan gembira.
“Oh, benar-benar luar biasa!” ia tertawa. “Bagaimana mereka bisa menciptakan karya seindah ini? Hebat luar biasa! Menggairahkan! Dari mana kau peroleh benda yang semahal permata ini?”
Setelah capai menyatakan kegembiraannya, pengacara itu tampak malu-malu menuju pintu dan berkata: “…….. Hanya saja tolong berbuat baik sedikit kepadaku dan bawalah benda ini kembali, tidak keberatan kan? Aku tak dapat menerimanya….”
“Kenapa?” ucap dokter itu bingung.
“Alasannya jelas banyak… Pikirkanlah ibuku yang sebentar lagi akan masuk ke sini, pikirkan juga klien-klienku… Dan bagaimana pula aku bisa melihat muka-muka merah padam pembantu-pembantuku?”
“Omong kosong Omong kosong! Jangan sekali-kali kau ngotot menolaknya!” kata dokter, itu seraya tangannya menolak ke arahnya. “Itu namanya kau kurang tahu adat! Ini sebuah karya seni hasil sebuah inspirasi. Lihat saja gerak garis-garisnya… ekspresinya… Jangan macam-macam lagi, kecuali kalau kau menghinaku?”
“Jika saja benda ini bisa dilumatkan atau berbentuk daun ara yang bisa dilipat….”
Akan tetapi dokter itu menolak dengan menggerak-gerakkan tangannya dengan cepat, sejurus kemudian dengan gesit menyelinap keluar dari apartemen itu dan terus pulang. Bersyukur sekali ia telah berhasil melepaskan barang itu dari tangannya….
Ketika temannya sudah pergi, sang pengacara mengamat-amati tempat lilin itu, merabanya, dan kemudian, seperti dokter itu, memeras otak tentang apa yang harus dilakukannya dengan batang itu.
“Suatu karya seni yang indah,” pikirnya, “dan menjadi sayang untuk membuangnya begitu saja. Tapi menyimpannya di sini amat tidak senonoh. Hal terbaik adalah menjadikannya barang hadiah untuk seseorang….. Aku tahu apa yang akan kulakukan! Aku akan bawa malam ini untuk Shashkin, si badut panggung. Komedian bajingan ini menyukai hal-hal seperti ini dan ia pasti menyukai barang semacam ini.”
Setelah itu ia pun berangkat melaksanakan maksudnya. Pada malam itu tempat lilin dibungkus dengan hati-hati, dan dihadiahkan kepada aktor badut Shashkin. Sepanjang malam, kamar rias itu dipenuhi hiruk-pikuk puji-pujian penuh antusiasme dan tawa bagaikan kuda meringkik. Ketika salah satu aktris mengetuk pintu dan minta permisi masuk, “Boleh saya masuk?” suara serak badut itu terdengar sekaligus,”Tidak, tidak, sayangku, saya tidak berpakaian!”
Setelah pertunjukan komedian mengangkat bahu dan kedua tangannya, kebingungan dan berkata, “Mau kuletakkan di mana benda cabul ini? Bagaimanapun aku kan tinggal di apartemen pribadi –pikirkanlah aktris-aktris yang berdatangan mengunjungiku nanti! Ini kan bukan potret yang bisa disimpan di dalam laci!”
“Anda lebih baik menjualnya, Tuan,” saran penata rambut yang yan membantunya melepaskan pakaian. “Ada seorang perempuan tua yang tinggal di sini yang suka membeli patung perunggu antik semacam ini. Hubungi saja Nyonya Smirnov… Semua orang tahu dia.”
Sang aktor mengikuti nasihatnya. . . . Dua hari kemudian dokter Koshelkov sedang duduk di ruang prakteknya, dan dengan jemari menempel di kening dan sedang mempelajari tentang asam empedu. Tiba-tiba pintu terbuka dan Sasha Smirnov tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruangan. Dia tersenyum, matanya berbinar-binar, seluruh kehadirannya mengekspresikan kebahagiaan. Tangannya memegang sesuatu yang terbungkus kertas koran
“Dokter!” ia memulai, nafasnya terengah-engah, “Saya sangat gembira! Dokter tak akan percaya betapa dokter beruntung –kami kebetulan menemukan tempat lilin pasangan milik dokter… Ibu gemetar terharu menemukannya. Saya satu-satunya anak ibu, yang nyawanya telah diselamatkan oleh dokter.
Dan Sasha, dengan penuh rasa syukur meletakkan tempat lilin itu di muka sang dokter. Mulut dokter itu tersekat, ia mencoba untuk mengatakan sesuatu, namun tak sepatah kata pun terucap dari mulutnya. Ia tidak bisa bicara apa-apa lagi.
*****

source : http://navifairuzmaulanablog.wordpress.com

Cerpen Anton Chekhov–Ninochka


PINTU terbuka perlahan dan Pavel Sergeyevich Vikhlyenev, sahabat lamaku, muncul dari balik pintu. Meski masih muda ia penyakitan, terlihat tua, ditambah perawakannya yang berbahu tegap, kurus kering dengan hidung panjangnya. Benar-benar sosok yang tidak menarik! Namun, di sisi lain ia memiliki wajah yang ramah, lembut, juga tegas. Setiap kau memandang wajahnya kau akan berkeinginan untuk meraba dengan jari-jarimu, merasakan dengan sungguh-sungguh kehangatan yang dimilikinya. Seperti umumnya kutu buku, temanku dikenal sebagai orang yang pendiam, kalem, dan pemalu. Ditambah lagi saat ini wajahnya terlihat agak pucat dan sangat gelisah tak seperti biasanya.

“Ada apa denganmu, teman?” tanyaku sambil melirik wajahnya yang pucat dan bibirnya yang gemetar. “Kau sedang sakit atau ada masalah lagi dengan istrimu? Kau tak terlihat seperti biasanya!”
Dengan sedikit ragu Vikhlyenev mendehem dan dengan sikap putus asa ia mulai bercerita, “Ya, dengan Ninochka lagi. Aku sangat gelisah, tak bisa tidur semalaman, dan seperti yang kau lihat aku bagaikan mayat hidup. Kurang ajar, orang-orang bisa saja tak terganggu dengan masalah ini. Mereka menganggap enteng rasa sakit, kehilangan seseorang, dan terluka. Namun, hal sepele ini bisa membuatku kecewa dan tertekan.”
“Tetapi, ada apa?”
“Sebenarnya hal yang sepele. Drama dalam sebuah keluarga. Namun, akan kuceritakan semuanya kalau kau berkenan untuk mendengarkannya. Kemarin Ninochka tak pergi keluar seperti biasanya. Ia merencanakan untuk menghabiskan sore bersamaku dengan tinggal di rumah. Tentu saja aku sangat bahagia. Dia selalu keluar untuk menjumpai seseorang, dan sejak itu aku selalu berada di rumah sendirian setiap malam. Kau bisa bayangkan betapa…yah…gembiranya aku saat itu. Namun, kau belum menikah. Jadi, kau belum bisa merasakan betapa hangat dan menyenangkan ketika kau pulang bekerja dan menemukan…ah istrimu sedang menunggu di rumah!”
Temanku, Vikhlyenev, memaparkan kehidupan pernikahan yang menyenangkan. Lalu ia menyeka keringat di dahinya dan kembali bercerita.
“Ninochka mengira akan menyenangkan menghabiskan malam bersamaku. Ya, kau tahu bukan, bahwa aku adalah orang yang sangat membosankan dan jauh dari cerdas. Takkan menyenangkan untuk jalan bersamaku. Aku selalu bersama dengan kertas-kertas kerja dan asap rokok. Aku bahkan tak pernah bermain keluar, berdansa, atau berkelakar. Dan kau pasti tahu benar bahwa Ninochka adalah orang yang menyenangkan. Juga masih sangat berjiwa muda. Bukankah begitu?
Ya, ah aku mulai menunjukkan hal-hal kecil, foto-foto serta hal lainnya. Aku juga menceritakan beberapa cerita…dan tiba-tiba aku teringat surat-surat yang aku simpan lama di mejaku. Beberapa surat tersebut isinya sangat lucu. Waktu aku masih sekolah aku punya teman yang pandai menulis surat. Jika kau membacanya maka perutmu pasti sakit karena tertawa terbahak-bahak! Kuambil surat itu dari dalam meja dan mulai membaca satu per satu untuk Ninochka. Pertama, kedua, ketiga, dan semuanya berantakan. Hanya karena satu surat di mana ia membaca kalimat “salam manis dari Katya”. Istriku yang cemburu itu kalimat-kalimatnya seperti pisau yang tajam dan Ninochka seperti Othello dalam pakaian wanita!
Pertanyaan-pertanyaan yang tak menyenangkan memenuhi kepalaku: siapa Katya, bagaimana dan mengapa, kucoba terangkan pada Ninochka bahwa dia adalah masa laluku, cinta pertama pada masa mudaku, sangat mustahil melekat di ingatanku karena tak ada yang penting untuk diingat. Setiap orang di masa mudanya memiliki seorang “Katya”. Itu kataku mencoba menjelaskan pada Ninochka dan sangat mustahil jika seseorang tak memilikinya. Namun, Ninochka sama sekali tak mau mendengarkan. Ia membayangkan yang tidak-tidak! Dan mulai menangis dengan histeris.
’Kau sangat jahat!’ ia menjerit, ’Kau menyembunyikan masa lalumu padaku! Mungkin saja kau juga memiliki seseorang seperti Katya saat ini dan kau menyembunyikannya padaku!’ Aku coba dan terus mencoba meyakinkan padanya, namun ia sama sekali tak mendengar. Logika laki-laki memang tak akan berguna untuk seorang wanita. Akhirnya aku berlutut memohon maaf. Aku membungkuk dan kau tahu yang dia lakukan? Ia pergi ke kamar dan membiarkanku di sofa ruang kerja. Pagi itu ia sinis padaku, tak mau melihatku dan bicara seakan aku ini orang asing. Dia mengancam akan pulang ke rumah ibunya dan aku yakin dia akan melakukannya. Aku tahu dia!”
“Oh, bukan cerita yang menyenangkan.”
“Wanita memang tak bisa dimengerti, ya. Ninochka masih muda, masih hijau, dan sensitif. Tak bisa dikejutkan oleh sesuatu yang meskipun sangat sederhana. Begitu sulitkah memaafkan meski aku telah sangat memohon, aku telah berlutut padanya, bahkan aku menangis!”
“Ya, ya, wanita memang sebuah teka-teki yang sangat sulit!”
“Teman, kau punya pengaruh besar bagi Ninochka. Dia sangat menghormatimu. Dia memandangmu sebagai orang yang berwibawa. Tolong, temuilah dia! Gunakan pengaruhmu untuk mengatakan bahwa apa yang dipikirkannya itu salah. Aku sangat menderita. Jika ini terus saja berlangsung aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Tolonglah!”
“Tapi, apakah ini tepat?”
“Mengapa tidak? Kau dan dia berteman sejak kecil. Dia percaya padamu. Sebagai teman, tolonglah aku!”
Tangisan dan permohonan Vikhlyenev menyentuh hatiku. Dengan segera aku berpakaian dan menemui istrinya. Kutemui Ninochka di tempat favoritnya: duduk di sofa dengan kaki menyilang, mengedipkan matanya yang indah dan sedang tidak melakukan apa-apa. Ketika aku datang ia segera meloncat dan berlari padaku. Memperhatikan sekeliling, menutup pintu, dan dengan gembira memeluk leherku. (Pembaca, tentu saja ini tidak salah ketik. Dalam setahun ini, aku telah berhubungan intim dengan istri Vikhleyenev).
“Pikiran jahat apa yang ada dalam pikiranmu sekarang?” tanyaku sembari mendudukkan Ninochka di dekatku.
“Apa maksudmu?”
“Lagi-lagi kau menyiksa suamimu. Ia datang padaku dan menceritakan semuanya.”
“Oh… rupanya dia menemukan orang untuk mengadu!”
“Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Ah, tidak begitu penting. Aku sedang bosan semalam dan merasa kesal karena tak tahu harus pergi ke mana. Karena rasa jengkel aku mulai meracau tentang ’Katya’. Aku mulai menangis karena rasa bosan, jadi bagaimana aku bisa menjelaskan kepadanya?”
“Tapi, kau tahu sayang. Itu sangat jahat dan tidak manusiawi. Dia sangat takut dan terganggu dengan ulahmu.”
“Ah, itu hal yang sepele. Dia sangat suka ketika aku berpura-pura cemburu, tak ada yang lebih bagus selain berakting cemburu. Tapi, sudahlah! Lupakan saja. Aku tidak suka kita membicarakan hal ini, aku sudah menyerah. Kau mau minum teh?”
“Tapi sayang, berhentilah menyiksa dia. Kau tahu bukankah dia terlihat sangat menyedihkan. Dia menceritakan semuanya padaku, bahwa dia benar-benar jatuh cinta padamu dan itu sangat tidak mengenakkan. Kontrol dirimu! Tunjukkan kasih sayangmu. Satu kalimat omong kosong akan membuatnya sangat bahagia.”
Ninochka cemberut dan merengut, namun beberapa saat ketika Vikhleyenev datang dengan keraguan yang tergambar jelas di mukanya, Ninochka tersenyum dan menunjukkan kasih sayang padanya.
“Kau datang di saat yang tepat, waktunya minum teh,” ujar Ninochka pada suaminya, “Pintar sekali kamu sayang. Tak pernah datang terlambat. Kau mau dengan jeruk atau susu?”
Vikhleyenev yang tak mengira akan disambut seperti itu, perlahan-lahan mendekati istrinya. Mencium tangan Ninochka dengan hangat serta merangkulku. Pelukan yang aneh dan sangat cepat, membuat aku dan Ninochka menjadi malu.
“Berkatilah sang pencipta kedamaian!” teriak sang suami yang bahagia. “Kau telah membuat ia mau mengerti. Mengapa? Karena kau memang laki-laki sejati. Bisa bergaul dengan banyak orang dan kau tahu titik kelemahan wanita. Hahaha…aku bodoh sekali! Ketika hanya satu kata yang diperlukan, aku menggunakan sepuluh kata. Ketika hanya harus mencium tangan istriku, aku melakukan hal lain. Hahaha…”
Setelah minum teh Vikhlyenev memintaku untuk ke kamar kerjanya. Menahanku berbicara dan dengan suara lirih ia berucap, “Aku tak tahu bagaimana berterima kasih padamu, teman. Aku sangat menderita dan tersiksa. Namun, kini aku luar biasa bahagia, dan ini bukan pertama kalinya kau menolongku dari masalah yang mengerikan. Teman, kumohon jangan menolak jika aku ingin memberimu…ini! Lokomotif mini yang kubuat sendiri, aku mendapatkan penghargaan atas penemuan ini. Ambillah sebagai rasa terima kasihku, juga sebagai tanda pertemanan kita. Terimalah demi aku!”
Dengan berbagai cara aku menolak pemberian tersebut, namun Vikhlyenev terus-menerus memaksaku. Mau tidak mau aku harus menerima hadiah yang sangat berharga itu.
Hari, minggu, bulan pun berlalu. Cepat atau lambat keburukan akan tersingkap dan diketahui olehnya. Ketika tanpa sengaja Vikhlyenev tahu akan semua kebenaran tentang aku dan istrinya ia sangat terkejut, pucat, terduduk di sofa dengan pandangan kosong ke langit-langit tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ekspresi sakit hati diungkapkannya dengan bahasa tubuh. Ia berpindah dari satu sofa ke sofa lain dengan perasaan yang sangat menderita sekali. Gerak-geriknya dipengaruhi oleh kesedihan.
Seminggu kemudian, setelah menenangkan pikiran karena berita yang amat mengejutkan tersebut, Vikhlyenev datang menemuiku. Kami berdua saling menghindar dan jengah. Aku mencoba berceloteh tentang kebebasan cinta, egoisme hubungan perkawinan, dan takdir yang tak bisa dielakkan.
“Bukan itu yang ingin kubicarakan,” katanya memotong, “Tentang hal itu aku sangat mengerti. Membicarakan perasaan siapa pun tak bisa disalahkan. Yang aku khawatirkan adalah hal lain. Hal yang sebenarnya tak berarti. Kau tahu sendiri, aku sama sekali tak mengerti tentang hidup, di mana kehidupan yang sebenarnya, dan kebiasaan masyarakat yang harus diperhatikan, misalnya. Aku orang yang benar-benar belum berpengalaman. Jadi, tolonglah teman! Katakan padaku apa yang harus dilakukan Ninochka sekarang? Tinggal bersamaku atau dia harus pindah bersamamu?”
Dengan kepala dingin kami membicarakan hal tersebut dan akhirnya kami menemukan jalan tengah. Ninochka tetap tinggal bersama suaminya, dan aku bisa menemuinya kapan pun. Karenanya, ia memakai kamar yang ada di pojok yang dulunya adalah gudang. Kamar itu agak gelap dan lembab, pintu kamarnya berhubungan langsung dengan dapur. Namun, pada akhirnya Vikhlyenev menembak dirinya sendiri tanpa menyusahkan orang lain. ***
1885
(Diterjemahkan oleh Nunung Deni Puspitasari dari Anton Chekhov Selected Stories, The New American Library of World Literature, Second Printing, August 1963)

Taruhan Karya Anton Chekov




Saat itu malam musim gugur yang gelap. Seorang bankir tua berjalan mondar‑mandir di ruang kerjanya terkenang pesta yang diselenggarakannya pada musim gugur lima belas tahun silam. Banyak orang pandai yang hadir dan percakapan‑percakapan yang menarik di sana.
Di antara hal‑hal yang mereka perbincangkan adalah masalah hukuman mati. Para tamu, tidak sedikit di antaranya adalah para sarjana dan jurnalis, sebagian besar tidak setuju atas pelaksanaan hukuman terse­but. Mereka menganggap hal itu sebagai suatu bentuk hukuman yang sudah kuno, tidak cocok untuk negara kristen dan amoral. Seba­gian dari mereka berpendapat bahwa hukuman mati hendaknya diganti saja dengan hukuman penjara seumur hidup secara universal.
“Aku tak sependapat dengan kalian,” kata sang tuan rumah. “Aku sendiri belum pernah mengalami hukuman mati atau penjara seumur hidup, tapi bila kita boleh mengambil pertimbangan berdasarkan kenyataan yang sebenarnya, menurut pendapatku hukuman mati lebih bermoral dan lebih manusiawi daripada penjara. Eksekusi langsung membunuh, sedang penjara seumur hidup membunuh perlahan‑lahan. Siapakah algojo yang lebih manusiawi, orang yang membunuhmu dalam beberapa detik ataukah seseorang yang mencabut nyawamu selama bertahun‑tahun?” “Keduanya sama‑sama amoral,” ujar seorang tamu, “karena tujuan keduanya sama, mengambil kehidupan. Negara bukan Tuhan. Ia tak punya hak untuk mengambil apa yang tak dapat diberikannya kembali.”
Di antara mereka terdapat seorang pengacara muda yang berusia sekitar dua puluh lima tahun. Ketika dimintai pendapatn­ya, ia berkata:
“Hukuman mati dan penjara seumur hidup sama‑sama amoral, tapi kalau aku disuruh memilih di antara keduanya, aku pasti memilih yang kedua. Bagaimanapun juga, hidup lebih baik daripada tidak hidup sama sekali.”
Terjadilah perdebatan yang seru. Sang bankir yang saat itu masih muda dan temperamental tiba‑tiba naik pitam, ia menggebrak meja dan berteriak kepada pengacara muda tadi:
“Bohong! Aku berani bertaruh dua juta kau takkan betah ngendon di sel walau hanya untuk lima tahun saja!”
“Kalau kau serius,” sahut sang pengacara, “aku bertaruh akan ngendon bukan hanya selama lima, tapi lima belas tahun.”
“Lima belas tahun. Jadi!” seru sang bankir. “Tuan‑tuan, aku mempertaruhkan dua juta!”
“Setuju. Kau bertaruh dengan dua juta, aku dengan kebeba­sanku,” kata sang pengacara.
Maka taruhan edan‑edanan itu jadilah. Sang bankir yang saat itu memiliki banyak uang tak dapat mengendalikan dirinya. Selama makan malam ia berkata kepada sang pengacara dengan canda:
“Sadarlah sebelum terlalu terlambat, anak muda. Dua juta tak ada artinya bagiku, namun kau akan kehilangan tiga atau empat tahun terbaik dalam hidupmu. Kubilang tiga atau empat, karena kau takkan kuat ngendon  lebih lama lagi. Juga jangan lupa, hai orang malang, bahwa sukarela lebih berat daripada melaksanakan hukuman penjara sesungguhnya. Pikiran bahwa kau punya hak untuk membebas­kan dirimu kapan saja, akan mengacaukan seluruh kehidupanmu di dalam sel. Aku kasihan padamu.”
Dan kini sang bankir berjalan mondar‑mandir mengenang ini semua dan bertanya pada dirinya sendiri:
“Kenapa kulakukan taruhan ini? Apa manfaatnya? Si pengacara itu kehilangan lima belas tahun kehidupannya dan aku membuang dua juta. Apakah ini akan meyakinkan masyarakat bahwa hukuman mati lebih buruk atau lebih baik daripada penjara seumur hidup? Tidak, tidak! Semua ini kesia‑siaan belaka. Di pihakku itu semata‑mata akibat pikiran mendadak dari seorang yang kaya raya; sedang bagi si pengacara, semata‑mata karena kerakusan akan harta.”
Ia mengenang lebih jauh tentang apa yang terjadi setelah pesta malam itu. Diputuskan bahwa sang pengacara harus menjalani masa kurungannya di bawah pengawasan yang sangat ketat di sebuah paviliun yang terletak di kebun milik sang bankir. Juga telah disepakati bahwa selama masa itu ia akan kehilangan hak untuk melintasi ambang pintu, melihat kehidupan masyarakat, mendengar suara‑suara manusia, dan menerima surat serta koran. Ia diijinkan memiliki sebuah alat musik, membaca buku‑buku, menulis surat, minum anggur dan menghisap tembakau. Berdasar kesepakatan ia bisa berkomunikasi dengan dunia luar, namun hanya dengan keheningan, melalui sebuah jendela kecil yang khusus dibangun untuk itu.
Semua kesepakatan itu telah tertulis secara rinci, yang membuat masa kurungan itu amat sangat sunyi dan terasing, dan sang pengacara diwajibkan untuk tinggal tepat selama lima belas tahun mulai dari pukul dua belas pada tanggal 14 November 1870 sampai dengan pukul dua belas tanggal 14 November 1885. Sedikit saja ia melakukan pelanggaran atas syarat‑syarat tadi, melepaskan diri walau hanya kurang dua menit dari waktunya, membebaskan sang bankir untuk membayarnya dua juta.
Selama tahun pertamanya di penjara, sang pengacara, sepanjang kesimpulan yang dapat ditarik dari catatan‑catatan kecilnya, sangat menderita karena kesendirian dan kesepian. Siang malam dari kamarnya terdengar suara piano. Ia menolak anggur dan tembakau.“Anggur,” tulisnya, “membangkitkan keinginan‑keinginan yang merupakan musuh utama bagi seorang tahanan, lagi pula tak ada yang lebih membosankan daripada minum anggur yang baik sendirian, sedangkan tembakau mengotori udara di kamarnya.”
Selama tahun pertama itu sang pengacara mendapat kiriman buku‑buku tentang para tokoh, novel‑novel kisah percintaan yang rumit, cerita‑cerita kejahatan dan fantasi, komedi, dan sebagain­ya.
Pada tahun kedua tidak terdengar lagi suara piano dan sang pengacara hanya meminta sastra Yunani dan Romawi kuno. Dalam tahun kelima suara musik kembali terdengar dan sang tahanan meminta anggur. Orang‑orang yang mengawasinya mengatakan bahwa dalam waktu setahun itu ia hanya makan, minum dan berbaring saja di ranjangnya. Ia sering menguap dan bicara sendiri sambil marah‑marah. Ia tidak lagi membaca buku. Terkadang di malam hari ia duduk sambil menulis. Ia menulis dalam waktu lama kemudian merobek‑robek semuanya di pagi hari. Lebih dari sekali terdengar ia menangis.
Dalam pertengahan tahun keenam, sang tahanan mulai mempe­lajari bahasa‑bahasa, filsafat dan sejarah dengan penuh semangat. Ia menekuni bidang‑bidang ini dengan laparnya sehingga sang bankir bersusah payah mencari waktu untuk memenuhi kebutuhan buku‑bukunya. Dalam masa empat tahun telah sekitar enam ratus volume yang dibeli atas permintaannya.
Ketika gairah itu surut, sang bankir menerima surat berikut ini dari sang tahanan:
“Sipirku yang baik, kutulis baris‑baris ini dalam enam bahasa. Tunjukkanlah kepada para ahli. Biar mereka membacanya. Jika mereka tak menemukan satu kesalahanpun, kuminta kau memerintahkan orangmu melepas tembakan di kebun. Dengan keributan itu, aku akan tahu bahwa usahaku selama ini tidaklah sia‑sia. Para cendekiawan dari segala masa dan negeri berbicara dalam bahasa‑bahasa yang berbeda, namun dalam diri mereka semua menyala semangat yang sama. Oh, seandainya kau tahu betapa bahagianya aku kini karena telah mengerti bahasa‑bahasa mereka!”
Keinginan sang tahananpun terpenuhi. Dua tembakan dilepas di kebun atas perintah sang bankir.
Selanjutnya, setelah tahun ke sepuluh, sang pengacara duduk tak bergeming di depan mejanya dan hanya membaca Kitab Perjanjian Baru. Sang bankir merasa heran bahwa seorang pria yang selama empat tahun telah menguasai enam ratus volume ilmu pengetahuan, akan menghabiskan hampir satu tahun hanya untuk membaca sebuah buku saja, yang mudah dipahami dan sama sekali tidak tebal. Perjanjian Baru itu kemudian digantikan dengan sejarah agama‑agama dan teologi.
Selama dua tahun terakhir dari masa kurungannya sang taha­nan dengan edan‑edanan membaca luar biasa banyak. Sekarang ia menekuni ilmu‑ilmu alam, kemudian melahap karya‑karya Byron dan Shake­speare. Ia mengirim catatan‑catatan kecil minta dikirimi dalam waktu yang bersamaan sebuah buku tentang kimia, sebuah textbook tentang kedokteran, sebuah novel, dan beberapa risalah filsafat atau teologi. Ia membacanya seakan‑akan sedang berenang di lautan di antara kepingan‑kepingan kapal pecah, dan dalam perjuangan menyelamatkan nyawanya ia mencengkeram keping‑keping itu satu per satu dengan bersemangat.
Sang bankir mengenang semua ini dan berpikir:
“Pukul dua belas besok ia memperoleh kebebasannya. Berdasar kesepakatan, aku nanti harus membayarnya dua juta. Kalau kubayar, tamatlah riwayatku. Aku bangkrut selamanya….”
Lima belas tahun silam uangnya berjuta‑juta, tapi sekarang ia bahkan takut bertanya kepada dirinya sendiri manakah yang lebih banyak dimilikinya, uang ataukah hutang. Berjudi di pasar modal, spekulasi yang beresiko, dan kesembronoan yang tidak dapat dihilangkannya bahkan sampai tuanya, perlahan‑lahan telah mengan­tar bisnisnya kepada kehancuran. Dan pengusaha yang dulu pembera­ni, penuh percaya diri dan angkuh itu kini telah berubah menjadi seorang bankir biasa yang gemetar setiap kali terjadi fluktuasi harga di pasar.
“Taruhan terkutuk itu,” bisik pria tua tadi sambil memegangi kepalanya dalam keputusasaan. “Kenapa orang itu tidak mati saja? Umurnya baru empat puluh tahun. Ia akan membawa pergi sampai recehan terakhirku serta mengakhiri semuanya; pernikahanku, hidupku yang enak ini, perjudian di bursa saham, dan aku akan kelihatan seperti seorang kere yang iri dan mendengar kata‑kata yang sama darinya setiap hari: ‘Aku berhutang budi padamu untuk kebahagiaan hidupku. Biarlah aku menolongmu.’ Tidak, itu terlalu banyak! Satu‑satunya cara melepaskan diri dari kebangkrutan dan aib adalah pria itu harus mati.”
Jam baru saja berdentang menunjukkan pukul tiga. Sang bankir menyimaknya. Di rumah itu semua orang sudah tidur, dan yang terdengar hanyalah bunyi pepohonan beku yang menderu‑deru di luar jendela. Dengan berusaha agar tidak menimbulkan suara, ia mengeluarkan kunci pintu yang tidak pernah dibuka selama lima belas tahun dari peti besinya kemudian mengantongi di mantelnya lalu keluar dari rumah. Di kebun suasananya gelap dan dingin. Saat itu sedang hujan. Ada kabut dan hembusan angin yang menderu‑deru, membuat pepohonan tidak bisa diam. Meskipun telah memaksakan matanya, sang bankir tetap tak dapat melihat tanah, patung‑patung putih, paviliun ataupun pepohonan di kebun itu. Ketika sedang mendekati paviliun, ia memang­gil‑manggil sang pengawas dua kali. Namun tak ada jawaban. Agaknya sang pengawas telah mencari perlindungan dari cuaca buruk dan kini sedang tertidur di dapur atau rumah kaca.
“Kalau aku punya keberanian untuk menjalankan niatku,” pikir laki‑laki tua itu, “kecurigaan pertama kali akan ditujukan kepada si pengawas.”
Di dalam kegelapan ia meraba‑raba mencari jalan dan pintu kemudian memasuki aula paviliun. Selanjutnya ia meneruskan lang­kahnya melewati sebuah celah sempit dan menyalakan sebatang korek api. Tak ada seorangpun di sana. Terlihat dipan tanpa seprei dan selimut serta sebuah kompor besi samar‑samar di sudut ruangan. Segel yang tertempel di pintu masuk kamar tahananpun masih utuh.
Ketika koreknya mati, pria tua itu, yang gemetaran karena gejolak di dalam dirinya, mengintip lewat jendela kecil. Di kamar tahanan terdapat sebatang lilin yang menyala remang‑remang. Sang tahanan duduk sendirian di depan meja. Hanya punggung, rambut dan kedua belah tangannya saja yang nampak. Buku‑buku yang terbuka berserakan di atas meja, kedua kursi, dan karpet di dekat meja.
Lima menit berlalu dan sang tahanan tak sekalipun menoleh. Lima belas tahun dalam kurungan telah mengajarkannya untuk duduk tak bergeming. Sang bankir mengetuk‑ngetuk jendela dengan jarin­ya, tapi sang tahanan tidak melakukan sebuah gerakanpun sebagai tanggapan. Lalu sang bankir dengan hati‑hati merobek segel pintu dan memasukkan kunci ke lubangnya. Lubang kunci yang berkarat mengeluarkan suara serak dan pintu pun berderit. Sang bankir mengharap segera mendengar seruan kaget dan bunyi langkah‑langkah. Tiga menit berlalu dan suasana tetap hening di dalam, sebagaimana sebelumnya. Iapun memutuskan untuk masuk.
Pria itu duduk di depan meja, tidak seperti manusia biasa. Nampak mirip tengkorak terbalut kulit yang berambut gondrong keriting seperti perempuan dan berewokan. Wajahnya kuning pucat karena tak pernah tersentuh sinar matahari, kedua belah pipinya kempot, punggungnya panjang dan kecil, dan tangannya yang dipakai untuk menopangkan kepalanya sangat kurus dan lemah sehingga menyedihkan sekali bagi yang melihatnya. Rambutnya sudah beruban, dan tak seorangpun yang melihat sekilas ke wajah tua yang peot itu akan percaya bahwa ia baru berusia empat puluh tahun. Di atas meja, di depan kepalanya yang tertunduk, tergeletak secarik kertas yang berisi tulisan tangan yang kecil‑kecil.
“Manusia malang,” batin sang bankir, “dia sedang tertidur dan barangkali sedang melihat uang jutaan dalam mimpinya. Aku tinggal mengangkat dan melempar benda setengah mati ini ke atas dipan, membekapnya sebentar dengan bantal, dan otopsi yang paling teliti sekalipun tak akan menemukan sebab kematian yang tidak wajar. Tapi, pertama‑tama, mari kita baca apa yang telah ditulisnya di sini”. Sang bankirpun mengambil kertas itu dan membacanya:
“Besok pukul dua belas tengah malam aku akan memperoleh kebebasanku dan hak untuk bergaul dengan masyarakat. Namun sebe­lum kutinggalkan ruangan ini dan melihat cahaya matahari, kupikir aku perlu menyampaikan beberapa patah kata kepadamu. Dengan nurani yang jernih dan Tuhan sebagai saksinya, kunyatakan kepada­mu bahwa aku memandang hina kebebasan, kehidupan, kesehatan, dan semua yang disebut oleh buku‑bukumu sebagai rahmat di dunia ini.”
“Selama lima belas tahun aku dengan rajin telah mempelajari kehidupan duniawi. Memang benar, aku tidak melihat dunia maupun orang‑orang, tapi dalam buku‑bukumu aku meminum anggur yang wangi, menyanyikan lagu‑lagu, berburu rusa dan babi hutan di rimba, mencintai wanita‑wanita….”
“Dan wanita‑wanita cantik, selembut awan, yang diciptakan oleh sihir kejeniusan para pujangga, mengunjungiku di malam hari dan membisikkan dongeng‑dongeng yang menakjubkan, membuat aku mabuk kepayang.”
“Dalam buku‑bukumu aku mendaki puncak Elbruz dan Mont Blanc dan dari sana menyaksikan bagaimana matahari terbit di pagi hari, dan ketika senjanya menutupi langit, samudera, dan punggung pegunungan dengan warna lembayung keemasan. Dari sana kulihat betapa di atasku kilat berkilauan membelah awan, kulihat hutan‑hutan yang hijau, ladang‑ladang, sungai‑sungai, danau‑danau, kota‑kota, kudengar nyanyian sirene dan permainan pipa‑pipa Pan, kusentuh sayap iblis‑iblis cantik yang terbang mendatangiku untuk berbicara tentang Tuhan…. Dalam buku‑bukumu kuterjunkan diriku ke dalam jurang tanpa dasar, membuat berbagai keajaiban, membakar kota‑kota sampai rata dengan tanah, mengajarkan agama‑agama baru, menaklukkan seluruh negara….”
“Buku‑bukumu memberiku kebijaksanaan. Semua pemikiran manu­sia yang tak jemu‑jemunya diciptakan selama berabad‑abad telah terkumpul di dalam otakku yang kecil. Aku tahu bahwa aku lebih pandai darimu dalam segala hal.”
“Dan aku memandang hina buku‑bukumu, memandang hina semua rahmat duniawi dan kebijakan. Semua itu hampa, lemah, dan khayali bagai bayang‑bayang. Sekalipun engkau hebat, bijaksana, dan tampan, kelak kematian akan menghapuskanmu dari muka bumi seperti tikus di bawah tanah. Dan keturunan, sejarah serta monumen kejeniusanmu akan menjadi ampas beku yang habis terbakar bersama bola bumi ini.”
“Engkau sinting, dan menyusuri jalan yang salah. Engkau menukar kesejatian dengan kepalsuan dan kecantikan dengan keburukan. Kau akan heran bila pohon apel dan jeruk menghasilkan kodok dan kadal, bukannya buah. Dan jika bunga‑bunga mawar mengeluarkan bau keringat kuda. Demikian pula aku heran padamu yang telah menukar sorga dengan dunia. Aku tak ingin memahamimu.”
“Kutunjukkan padamu kejijikanku atas cara hidupmu, kutolak dua juta itu yang pernah kuimpikan sebagai sorga, dan yang kini kuanggap hina. Aku cabut hakku atasnya, aku akan keluar dari sini lima menit sebelum waktunya, dengan demikian akan batallah perse­tujuan itu.”
Setelah membacanya, sang bankir meletakkan kembali kertas tersebut di atas meja, dikecupnya kepala orang asing itu, dan iapun mulai menangis. Ia keluar dari paviliun itu. Tak pernah sebelumnya, bahkan juga setelah mengalami kerugian besar di bursa saham, ia merasa begitu jijik kepada dirinya sendiri seperti sekarang ini. Setelah tiba di rumah, ia membaringkan tubuhnya di atas dipan, tapi gejolak batin dan air mata menahannya untuk tidur selama beberapa saat.
Pada paginya sang pengawas yang malang mendatanginya dengan berlari‑lari dan melaporkan bahwa mereka telah melihat pria yang tinggal di paviliun itu memanjat jendela dan turun ke kebun. Ia telah pergi ke pintu gerbang dan menghilang. Sang bankir segera pergi bersama para pembantunya ke paviliun tadi dan mendapatkan tahanannya telah melepaskan diri. Untuk menghindari desas‑desus yang tak diinginkan ia mengambil surat yang berisi pernyataan penolakan itu dari atas meja dan setelah kembali ke rumah menyim­pannya di peti besinya.
ANTON CHEKOV (1860‑1904) lahir di Taganrog, Laut Azov, Rusia. Cucu seorang penggarap tanah. Meski berpendidikan dokter tapi ia jarang melakukan praktek dan lebih asyik menekuni sastra. Cerita‑ceritanya segera mendapat sambutan dari publik dan mengakibatkan pengaruh yang mendalam di berbagai negara, terutama dalam drama modern.
SUMBER: http://www.nyx.net/~kbanker/chautauqua/bet.html
Alih bahasa Syafruddin HASANI